Jakarta, Trustindonesiaconsulting.com – Jika membaca kembali kisah mitologi Yunani, maka kita akan teringat sebuah kisah dari Kerajaan Troya. Pada zaman itu pernah hidup seorang Dewi bernama Cassandra. Cassandra merupakan seorang putri Raja Troya, Ayahnya Raja PrIamos dan Ibunya Ratu Hekabe. Cassandra adalah putri yang berperangai cerdas dan berparas cantik.
Suatu ketika seorang Dewa bernama Apollo jatuh cinta kepadanya. Saking cintanya, Appolo menghadiahkan Cassandra sebuah nubuat yaitu kemampuan untuk meramalkan masa depan dengan akurat dan presisi. Sehingga setiap ucapan Cassandra sangat dipercaya oleh rakyat Troya, karena ramalannya pasti terjadi.
Seiring berjalannya waktu Apollo ingin mengutarakan cintanya kepada Cassandra. Namun ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan, Cassandra yang cerdas dan cantik tidak ingin menjadi kekasihnya. Akhirnya Cassandra mendapat kutukan, semua ramalan yang dilakukannya selalu meleset dan akhirnya tidak satupun rakyat Troya mempercayainya.
Walaupun sudah tidak memiliki nubuat dari Apollo, Cassandra tetap selalu berusaha mengingatkan ramalannya yang baik-baik kepada rakyat Troya. Tapi tetap saja semua orang tidak mempercayainya, meskipun setiap ucapan yang dilakukannya tepat dan pasti terjadi. Dari kisah inilah kita mengenal istilah ramalan Cassandra (Cassandra Prophecy).
Memasuki minggu tenang menjelang pemungutan suara, masyarakat Indonesia disuguhkan dengan berbagai macam angka-angka persentase hasil survei yang viral di media sosial. Beberapa lembaga survei telah merilis hasil survei, tentang siapa yang akan memenangkan kontestasi Pilpres dan Pileg 2024. Menariknya, ada lembaga survei yang membuat kesimpulan lebih awal bahwa Pilpres hanya akan berlangsung satu putaran.
Sebagai masyarakat yang hampir lima kali mengikuti Pemilu secara langsung, sudah seharusnya kita lebih dewasa dalam menyikapi hasil survei. Sikap kita sebaiknya mengedepankan cara berpikir Induktif-Probabilistik. Bukan cara berpikir Deduktif-Deterministik.
Hasil survei itu sesungguhnya mengandung unsur peramalan yang tidak pasti (probabilistik). Lembaga survei hanya mengamati sebagian populasi karena ingin menduga hasil secara keseluruhan sampel yang dilakukan secara cacah lengkap. Sesat pikir dapat terjadi karena hasil survei dipahami sebagai hasil akhir yang pasti (deterministik) layaknya hasil ketetapan KPU. Sejatinya lembaga survei tidak hanya melakukan peramalan (forecasting), namun juga melakukan pencerdasan (intelligence) politik kepada masyarakat melalui literasi data hasil survei yang metodologinya dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Memang tidak mudah ketika survei yang sifatnya akademik dilaksanakan berbarengan dengan kepentingan politik. Karena kepentingan bisa jadi dapat mengalahkan kebenaran. Eksistensi dan legitimasi lembaga survei yang terbuka dan kompetitif saat ini, jangan sampai tergadai oleh komersialisasi, manipulasi dan potensi keberpihakan. Sehingga dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga survei itu sendiri, seperti hilangnya kepercayaan rakyat Troya terhadap ramalan Dewi Cassandra.
Ahmad Fadhli
Peneliti / Direktur Riset TRUST Indonesia