HERALD.ID – Saat Presiden Jokowi mulai menggerakkan pengembangan sistem kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence pada kepentingan politik nasional, Presiden Biden justru mengeluarkan kebijakan untuk mengontrol pengembang sistem kecerdasan buatan keamanan, yang selama ini bahkan sudah digunakan untuk kepentingan politik ekonomi nasional. Alasan potensi risiko serius terhadap keamanan nasional menjadi alasan yang dikemukakan oleh Joe Biden.
Dalam konteks perpolitikan nasional, sejatinya geliat pengembangan sistem kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence berkontribusi positif dalam setiap kontestasi politik disetiap negara, tak terkecuali di Indonesia.
Di antaranya, memberi kemudahan melakukan analisis data yang lebih baik dan efisien, membantu kandidat calon presiden dan koalisi kepartaian terhubung dengan pemilih, mempercepat proses dan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
Satu penerapan analisis teknologi AI memasuki masa kampanye presiden hari ini di Indonesia, adalah Hadirnya sosok kontradiktif Prabowo Subianto dalam wajah artifisial. Tiga periode kontestasi calon presiden RI beliau selalu tampil “sangar” dengan performa ketegasan dengan gagasan kebangsaan kedaulatan negara. Tiba-tiba berubah menjadi sosok “Gemoy” yang riang, seakan ingin mengubah image dirinya dekat dengan kelompok milenial dan Gen Z.
Analisis Artificial Intelligence juga menyebutkan, jika ingin menang capres Prabowo harus terlihat kuat bergerak, sehat dan beraktivitas selayaknya anak-anak muda. Dengan capaian kekuatan personifikasi pasangan calon yang serasi dengan mengalihkan selisih umur Prabowo-Gibran yang sangat timpang. Setidaknya itu, penting untuk menegaskan Prabowo dan Gibran adalah dua figur yang mampu saling bekerjasama membangun Indonesia.
Semua proses teknologi analitik ini akan terlihat alamiah tanpa disadari telah mengubah alam bawah sadar pemilih suatu negara secara kolektif. Sebagaimana Amerika lewat Cambrige Analitiknya, telah mampu memengaruhi dalam pemilihan di beberapa negara bagian dan membalikkan perolehan suara secara mutlak.
Bagaimana semua itu terjadi dan apa pengaruhnya bagi alam demokrasi suatu negara? Mari pahami bahwa teknologi AI ini memang dirancang untuk bisa memahami perilaku pemilih dan merancang kampanye politik yang sangat terarah. Tidak ada yang salah di sana, sampai suatu titik ancaman itu hadir ketika data pemilih dimanipulasi untuk memengaruhi hasil pemilihan, sehingga tak ada yang menyadari bahwa integritas demokrasi sedang dihabisi.
Proses dimulai dari langkah manipulasi Informasi Politik, di mana teknologi AI dalam proses menyaring, memproses, dan menyajikan informasi politik telah dimanipulasi melalui algoritma cerdas yang digunakan untuk menyebarkan propaganda atau menggiring opini publik.
Memang dalam setiap perhelatan pergantian kekuasaan, bahwa pesanan politik itu seringkali hadir dengan cara yang tidak sesuai dengan fakta. Privasi dan pengawasan adalah tanggung jawab negara, namun jika disalahgunakan untuk kepentingan politik praktis maka penggunaan teknologi AI ini pun bisa membahayakan privasi individu dan hak asasi manusia. Misalnya yang sudah terjadi di beberapa negara tertentu, ancaman serius justru hadir dari pemerintah mereka yang menggunakan teknologi ini untuk memantau warganya tanpa batasan etis atau hukum yang jelas. Dan hal ini menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia untuk arif dan bijaksana dalam pengembangan dan penggunaannya yang sangat rentan dikendalikan oleh politik elite yang sarkastik tanpa etika
Berbeda dengan yang terjadi di Amerika Serikat, Joe Biden justru sangat khawatir dengan keamanan Cyber dan Serangan Terhadap Infrastruktur Politik kekuasaannya. Di mana ancaman keamanan cyber yang melibatkan penggunaan teknologi AI dapat membahayakan infrastruktur politik di negaranya. Dengan serangan siber yang didukung teknologi AI dari dalam maupun luar negeri yang dapat mencapai tingkat kecerdasan dan ketidakdugaan yang sulit untuk dihadapi oleh sistem pertahanan konvensional negara. Terbukti pada November 2022 saat peluncuran ChatGPT oleh perusahaan AS OpenAI, China mengembangkan chatbot AI serupa. Bahkan setelah ChatGPT diperkenalkan ke pasar oleh Amerika, beberapa perusahaan Tiongkok langsung merilis model mereka sendiri seperti perusahaan internet Baidu dengan target strategis serangan digital strategik.
Disadari atau tidak, tensi perang Informasi tengah memasuki fase pertempurannya, dan kontestasi pemilihan presiden di setiap negara termasuk Indonesia adalah playgroundnya. Pertarungan dalam kutub Amerika dan China bukan sekadar dalam konteks pengaruh diplomatis, namun sudah masuk ketahapan pengendalian. Teknologi AI adalah mesin perang informasi untuk membentuk kebijakan politik negara, sekaligus membentuk aktor dalam skenario politik globalnya masing-masing tergantung Presidennya akan berkiblat kemana. Maka perlu upaya dari semua pihak untuk mendeteksi dengan cepat dan efektif menyambut gelombang informasi digital menjelang pertarungan Pilpres Indonesia 2024 ini, mengingat Artificial Intelligence akan benar-benar menjadi mesin pembentuk narasi politik dengan target mengendalikan alam bawah sadar pemilih.Sebagai lembaga Riset dan Konsultasi Politik Nasional baru saja mengembangkan teknologi kecerdasan buatan untuk keperluan analisis yang mendalam ini, dengan tujuan menciptakan strategi yang cerdas untuk memahami citra dan perilaku pemilih, membentuk transformasi citra politisi, dan memanfaatkan data secara personal untuk menyajikan pesan kampanye yang paling efektif. Dengan produk Command Center Trust Indonesia, setiap kandidat politik bisa memanfaatkan untuk manajemen emosi pemilih, menciptakan interaksi personal melalui chatbots, dan mempengaruhi perbincangan di ruang digital, terutama di media sosial. Saat ini kemampuan teknologi AI sudah bisa mengukur efektivitas strategi secara real-time memberikan fleksibilitas untuk penyesuaian cepat. Sehingga riset politik ke depan bukan hanya tentang perolehan data, melainkan tentang keahlian dalam membentuk persepsi, memanipulasi emosi, dan merancang naratif yang memengaruhi pikiran alam bawah sadar pemilih. (*/asw)