Nadhlatul Ulama (NU) selalu menjadi kunci dalam memenangkan Pemilu Presiden (Pilpres) selama satu dekade belakangan. Salah satu faktor penyebabnya adalah jumlah anggota NU yang sangat besar sehingga memiliki pengaruh signifikan bagi kemenangan pasangan Capres-Cawapres. Diperkirakan, hingga tahun 2023, NU sudah memiliki anggota hampir 150 juta jiwa.

Pola yang biasanya terjadi, kader NU disorongkan menjadi figur Capres-Cawapres. Atau pola lainnya, kader NU diminta menjadi tim sukses. Tetapi selama 10 tahun terakhir, kader NU memang selalu terlibat secara tidak langsung, baik dalam kontestasi ataupun pemenangan Pilpres.

Menjelang Pilpres 2024, NU kembali menjadi rebutan. Selain ‘Kader NU’ yang mencalonkan diri sebagai Capres atau Cawapres, para elite NU juga menyeburkan diri masuk dalam pusaran dukung-mendukung pasangan Capres-Cawapres. Baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi, kader NU di setiap daerah juga mulai menunjukkan arah dukungan politiknya.

Tetapi kemanakah sebenarnya arah dukungan kader NU di Pilpres kali ini. Pihak mana yang sebenarnya paling pantas dianggap mewakili NU dalam Pilpres 2024 ini. Benarkah NU Struktural tidak lebih berpengaruh daripada NU Kultural dalam pengarahan dukungan Pilpres?

Figur NU Kultural

Selalu muncul perbedaan sudut pandang saat kader NU ikut dalam momentum Pilpres terkait posisi kader tersebut. Apakah dirinya menjadi bagian dari NU Struktural atau sebaliknya NU Kultural, atau malah kombinasi keduanya. Secara administratif, NU struktural dianggap lebih tinggi karena memiliki kedudukan dan pengaruh di dalam organisasi. Sebaliknya, NU kultural dianggap memiliki pengaruh kuat di akar rumput karena berinteraksi langsung dengan warga dan jamaah nadhliyin.

Sikap Pengurus Besar NU (PBNU) yang melarang pengurus menggunakan atribut NU dalam pemilu 2024 menunjukkan bahwa NU struktural mungkin unggul satu derajat dari NU kultural.
NU Struktural memang memiliki legitimasi untuk bersikap secara politik ketimbang NU kultural lantaran otoritas yang dimilikinya.

Namun demikian, tidak ada garansi instruksi tersebut bakal dilaksanakan di akar rumput. Sebab, yang dominan memiliki pengaruh di tingkat bawah adalah kalangan NU kultural. Mereka ini adalah para Kyai dan pendakwah di kalangan NU biasanya tidak berpolitik praktis dan menyerahkan pilihan politik kepada jamaahnya. Misalnya Gus Baha, Gus Idham, Gus Kausar dan Gus Miftah.

Para kelompok NU kultural ini memang biasanya enggan bersikap politis. Mereka hanya menjalankan kewajiban sebagai pendakwah NU yang berceramah dari satu kampung ke kampung lainnya. Akan tetapi, kalaupun harus memberikan arahan politik biasanya kelompok NU Kultural ini akan memberikan dalam kode-kode yang halus dan tidak to the point. Dan, tentu saja, meski tidak langsung sebut nama, para jamaah ini biasanya langsung menangkap dan menerima arahan yang dimaksud.

Karena itu, bagi pasangan Capres-Cawapres jauh lebih penting menggaet figur NU Kultural ketimbang NU Struktural. Alasannya jelas, mereka adalah para pemilik suara politik para jamaah NU yang sesungguhnya. Arahan pilihan politik yang diberikan mereka, insya Allah akan dieksekusi
sebagai pilihan warga NU. Dalam bahasa awam para warga NU, arahan itu dimaknai sebagai ‘Dawuh Kyai’.

Jika merujuk hasil survei Trust Indonesia yang berlangsung pada Februari lalu, sebanyak 88,9 persen responden yang mengaku Nadhliyin sudah memiliki pilihan atas partai politik. Hanya sekitar 11,1 persen Nadhliyin yang tidak tahu atau belum memilih partai politik. Artinya, pilihan politik warga NU atas partai politik jauh lebih beragam ketimbang pilihan atas pasangan Capres dan Cawapres.

Sementara itu, dengam mengacu data yang sama, responden Nadhliyin di survei Trust Indonesia juga sudah memilih tiga nama bakal Capres yang akan bertarung di Pilpres nanti. Sekitar 35,6 persen responden tampak memilih Ganjar Pranowo, sementara sebanyak 27,4 persen mendukung Prabowo Subianto dan sekitar 22,5 persen responden memvoting Anies Baswedan.
Potret survei ini tentu akan dinamis seiring dengan perkembangan penetapan Cawapres lainnya
yang diprediksi bakal membawa-bawa NU.

Siapa Paling NU?

Sejauh ini, belum ada pasangan Capres-Cawapres yang paling dianggap mewakili NU. Meskipun, saat ini, mungkin hanya Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB), yang paling berusaha mengambil
klaim ini. Gus Muhaimin, dengan segala rekam jejaknya, memang lahir dan besar di kalangan NU. Lulusan Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Jombang ini, memang menghabiskan hampir separuh hidupnya di kalangan NU.

Akan tetapi, sikap PBNU yang ‘menyerang’ Muhaimin Iskandar secara terbuka, boleh jadi akan mengurangi klaim NU yang ingin ditampilkan Gus Muhaimin. Pasalnya, serangan terbuka ini secara tersirat menjelaskan posisi ‘pengurus PBNU’ saat ini menyikapi manuver politik Muhaimin.

Nama lain yang mungkin cukup mewakili NU adalah Mahfud MD. Profesor Hukum ini juga tumbuh dan besar di kalangan NU. Mahfud bahkan pernah disebut-sebut menjadi bakal Cawapres Joko Widodo (Jokowi) pada 2019 lalu. Sayang, diujung waktu, nama Kyai Ma’ruf Amin
yang akhirnya dipilih Jokowi karena posisinya sebagai Ra’is Aam Syuriah PBNU dan Ketua Umum MUI.

Namun demikian, nama Mahfud saat ini hanya muncul di dalam penjaringan bakal Cawapres Ganjar. Hingga minggu kedua September, Mahfud terus masuk ke dalam tiga kandidat Cawapres
yang akan mendampingi Ganjar. Mahfud berpeluang besar menyingkirkan dua nama kandidat lain yang tidak berasal dari kalangan NU.

Nama terakhir yang disebut, tentu Erick Thohir (Menteri BUMN). Menteri yang berlatarbelakang pengusaha ini secara resmi sudah memiliki sertifikat Banser dan itu menjadi bukti bahwa Erick bisa mewakili NU. Apalagi dalam perayaan 100 tahun NU lalu, Erick yang sempat menjadi Ketua Steering Committee (SC) Panitia Harlah, disebut sebagai kontribusi nyata dirinya kepada NU.

Akan tetapi sekali lagi, oleh sejumlah pihak, Erick Thohir masih belum 100 persen dianggap sebagai kader NU. Erick bahkan disebut terlalu cepat menjadi jamaah NU, tanpa terlebih dahulu memahami ‘akidah’ NU. Karena itu Erick disebut oleh sejumlah pihak sebagai kader NU Naturalisasi.

Seorang kader NU pernah menyebut tiga indikator seseorang layak disebut mewakili NU.
Pertama, tentu dia harus melakukan amaliyah ibadah NU. Orang yang mewakili NU harus bisa mengamalkan ibadah lahiriyah NU, semisal dzikiran, shalawatan, yasinan, dan ziarah. Jika tidak pernah mengamalkan hal tersebut maka dia tidak pantas disebut sebagai wakil NU.

Kedua, soal lingkungannya. Apakah yang bersangkutan dekat dengan Kyai, ekosistem pesantren dan para santri. Dia harus berkontribusi dalam aktivitas pengembangan pesantren, peningkatan kualitas kehidupan para santri dan terlibat dalam upaya memenuhi kebutuhan pesantren.

Ketiga, terkait dengan pemahaman moderat keberagamaan (Islam). Kader NU harus bersikap tidak kaku dan mengambil jalan tengah dari pemikiran ekstrem kanan dan kiri. Kader NU pasti memaklumi, menerima dan tidak mengharamkan tradisi yang berkembang di pelosok nusantara.

Jika kader NU tersebut (pasangan Capres-Cawapres) tidak memiliki dan memenuhi prasyarat indikator tadi, maka boleh jadi, identitas ke-NU-annya dipertanyakan dan bahkan ditolak. Tanpa harus memandang apakah yang bersangkutan anak Kyai, tumbuh di kalangan pesantren atau
bahkan ikut kursus kilat menjadi kader NU, siapa yang berbeda 180 derajat dengan indikator tersebut, maka sudah barang tentu dia tak pantas disebut kader NU.

Meski demikian, menjadi dan mengaku kader NU adalah hak bagi setiap orang. Namun sekali lagi, tanpa rekam jejak dan indikator, klaim NU tadi hanya akan menjadi klaim sepihak. Dan, mereka yang hanya mengaku-mengaku NU tentu tidak akan pernah mendapat insentif elektoral dari
klaim NU yang ditampilkannya.

Dan, bagi para warga NU, klaim wakil NU tersebut tentu tidak akan berarti apa-apa jika yang bersangkutan memang tak pernah berkontribusi bagi NU selama ini. Apalagi jika kontribusinya baru dilakukan dan terasa hari-hari belakangan jelang pelaksanaan pemilu. Jauh lebih penting bagi jamaah NU untuk mempertimbangkan dan memilih kader NU yang sejauh ini sudah berbuat banyak bagi NU, Kyai dan kalangan pesantren ketimbang kader NU karbitan. **

× Contact Us