JAKARTA – Peneliti senior Trust Indonesia, Ahmad Fadhli menyebut partai Demokrat saat ini memiliki sejumlah opsi untuk bermanuver dalam konstelasi Pilpres 2024 setelah berpolemik dengan Capres Anies Baswedan. Pertama, mengambil langkah strategis dengan bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang digawangi oleh Gerindra. Secara politik, langkah ini akan semakin menguatkan koalisi besar KIM dan mengulangi sejarah koalisi di tahun 2019 lalu.
“Langkah ini paling rasional bagi Demokrat, karena rasanya tidak mungkin mereka akan ditolak oleh Prabowo dan Koalisi Indonesia Maju. Bagi Demokrat dan Koalisi Indonesia Maju, agenda koalisi ini akan menguntungkan kedua belah pihak,” kata dia dalam keterangan tertulis, Jum’at (8/9) siang.
Opsi kedua, Demokrat bisa membangun langkah taktis membentuk koalisi baru dengan menggandeng PKS dan PPP. Langkah ini sangat menguntungkan Demokrat karena berpeluang mendorong Agus Harimurthi Yudhoyono (AHY) menjadi Cawapres.
“Opsi kedua ini cukup rasional bagi Demokrat yang memang sangat menginginkan AHY maju dalam Pilpres. AHY potensial menjadi Capres atau Cawapres asalkan bisa membuat negosiasi dengan PKS dan PPP. Bersama Sandiaga, AHY tentu akan menjadi kunci terbentuknya koalisi ini,” jelas dia.
Ketiga, langkah yang paling utopis yakni kembali bergabung dengan Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Meski terasa berat, ungkap Fadli, langkah ini boleh jadi akan dilakukan Demokrat jika tidak ada koalisi politik lainnya yang mau menerima mereka.
“Opsi ini memang paling konyol. Tetapi opsi ini potensial terjadi kalau tidak ada koalisi politik lain yang mau menerima Demokrat,” kata Fadli.
Selanjutnya, langkah keempat yang disebut sebagai langkah pragmatis. Dalam konteks ini, menurut Fadli, Demokrat bisa saja akan berkoalisi dengan PDIP yang notabene sudah menjadi rival politik hampir 20 tahun. Akan tetapi, jika sampai terjadi, opsi ini hanya akan menjadikan Demokrat sebagai anggota biasa yang kurang memiliki posisi tawar.
“Kalaupun bergabung dengan PDIP, Demokrat tentu hanya menjadi anggota koalisi biasa yang tidak punya posisi tawar dan hanya jadi partisipan biasa. Tetapi memang hanya itu yang bisa dilakukan jika bergabung dengan koalisi yang dikomandoi PDIP tersebut,” jelasnya.
Terakhir, langkah yang paling apatis diambil Demokrat dengan tidak mengusung pasangan Capres-Cawapres manapun. Langkah ini bisa saja menjadi langkah terakhir yang diambil Demokrat bila komunikasi dengan semua partai politik dan koalisi menemui jalan buntu. Menurut Fadli, langkah apatis ini akan merugikan Demokrat karena mengubur harapan dan ekspektasi politik kader untuk berpartisipasi dalam Pilpres.
“Trust Indonesia tidak berharap Demokrat akan mengambil langkah terakhir (apatis) ini. Sebab, ini sangat merugikan posisi politik dan mengubur harapan publik serta para kader. Serendah-rendahnya partisipasi politik dalam Pilpres adalah bergabung dengan koalisi. Karena di ujung jalan sana, ada harapan bahwa visi-misi politik Demokrat dalam pemerintahan akan diakomodir oleh Capres-Cawapres dan Koalisi jika memenangkan pemilu,” tutur dia.